Senin, 19 April 2010

Bolehkah berdoa agar segera dimatikan?

Jawapan: Pertamanya kita harus tahu dulu apa itu hukumnya berdoa, Doa merupakan sebuah Ibadah dan merupakan sebuah inti bagi Ibadah. Hal ini adalah berdasarkan ayat,

وَقَالَ رَبُّڪُمُ ٱدۡعُونِىٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِى سَيَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepadaKu, nescaya akan Aku kabulkan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari ibadah kepadaKu akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina” [TMQ Ghafir (40):60].


Dalam ayat ini, Allah SWT telah menjadikan doa sebagai satu ibadah. Allah menyebut doa dengan lafaz “ibadah kepadaKu” setelah menyatakan “berdoalah kepadaKu”. Apa yang diungkapkan dalam ayat ini persis seperti sabda Rasulullah SAW,

“Doa adalah inti ibadah” [HR at-Tirmizi].

Justeru, doa adalah satu ibadah yang sangat-sangat dituntut oleh Allah dan Rasul dan Allah sangat mencintai hambaNya yang berdoa kepadaNya. Berdoa hukumnya sunat, tetapi barangsiapa yang tidak berdoa kepada Allah kerana sombong, maka ia termasuk ke dalam golongan yang disebutkan oleh Allah,

“(mereka) akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina”.

Doa merupakan permohonan dari seorang hamba kepada Allah SWT. Doa adalah semata-mata permintaan/permohonan dari sang hamba, sementara hak untuk mengurniakan atau memakbulkan doa adalah di sisi Allah sahaja. Ini sesuai dengan firman Allah di atas,

“(Dan) Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepadaKu, nescaya akan Aku kabulkan bagimu".

Allah memerintahkan kepada kita agar berdoa kepadaNya, namun ini tidak sekali-kali bermakna bahawa kita boleh meninggalkan hukum sebab-akibat (causality). Dengan kata lain, kita wajib berusaha untuk mendapatkan sesuatu atau menjauhkan sesuatu, dan dalam masa yang sama kita berdoa kepada Allah. Contohnya, kita yakin (secara pasti) bahawa Allah adalah Zat yang mendatangkan dan menetapkan sebanyak manakah rezeki untuk kita, namun ini tidak bermakna kita boleh meninggalkan hukum bekerja. Kita wajib bekerja dan dalam masa yang sama disunatkan berdoa kepada Allah agar diberikan rezeki yang banyak dan halal. Inilah yang dinamakan sebagai hukum sebab-akibat, yakni kita wajib bekerja agar rezeki yang Allah telah tetapkan (di Luh Mahfuz) itu ‘sampai’ kepada kita.

Melalui definisi diatas, maka kita ketahui bahawa doa itu merupakan sebuah inti kepada ibadah, dan merupakan sebuah permintaan yang perlu dilaksanakan dengan sebuah usaha yang benar. Namun persoalannya disini agak berbeza kerana, doa yang kita ingin sampaikan itu untuk dimatikan kerana tidak tahan kerana sering melakukan dosa.
Rasulullah pernah bersabda:

Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa kepada Allah dengan suatu doa yang di dalamnya tidak dosa dan memutuskan silaturahmi, kecuali i Allah akan memberinya salah satu dari tiga perkara, iaitu bisa jadi Allah akan mempercepat terkabulnya doa itu soot di dunia; atau Allah akan menyimpan terkabulnya doa di akhirat kelak, don bisa jadi Allah akan memalingkan keburukan darinya sesuai dengan kadar doanya. Para sahabat berkata, "Kalau begitu kami akan memperbanyak doa." Rasulullah saw. bersabda, 'Allah akan lebih banyak lagi (mengabulkannya)." (HR. Ahmad, al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)

Namun doa untuk mati mengikut pendapat kami masih tidak sampai kepada tahap berdosa, seperti yang dinyatakan pada hadith di atas, sesuatu perkara yang dinyatakan sebagai berdosa adalah apbila perkara tersebut merupakan perkara yang berbentuk jaazim (pasti tanpa keraguan) haram dilaksanakan contohnya berzina, itu merupakan sebuah dosa yang kita semua sedia maklum (maklumin ad dharurah). Maka berdoa bagi persoalan itu tidaklah dibenarkan.

Namun begitu di dalam Quran Allah S.W.T berfirman:

قَدِ ٱفۡتَرَيۡنَا عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا إِنۡ عُدۡنَا فِى مِلَّتِڪُم بَعۡدَ إِذۡ نَجَّٮٰنَا ٱللَّهُ مِنۡہَاۚ وَمَا يَكُونُ لَنَآ
أَن نَّعُودَ فِيہَآ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّنَاۚ وَسِعَ رَبُّنَا كُلَّ شَىۡءٍ عِلۡمًاۚ عَلَى ٱللَّهِ تَوَكَّلۡنَاۚ رَبَّنَا ٱفۡتَحۡ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَ قَوۡمِنَا بِٱلۡحَقِّ وَأَنتَ خَيۡرُ ٱلۡفَـٰتِحِينَ
"Sesungguhnya (bermakna) Kami berdusta terhadap Allah, jika Kami berpindah kepada ugama kamu sesudah Allah menyelamatkan Kami daripadanya. dan tidaklah harus Kami berpindah kepadanya sama sekali, kecuali jika Allah Tuhan kami, menghendakinya. Pengetahuan Tuhan Kami meliputi akan tiap-tiap sesuatu. kepada Allah jualah Kami bertawakal. Wahai Tuhan kami, hukumkanlah antara Kami dan kaum Kami Dengan kebenaran (keadilan), kerana Engkau jualah sebaik-baik hakim". (QS Al A’raf: 89)

( قَالَ رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّ وَرَبُّنَا الرَّحْمَنُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ ( ١١٢
(Nabi Muhammad merayu dengan) berkata: "Wahai Tuhanku, hukumkanlah (di antara Kami Dengan mereka) Dengan Yang benar; dan Tuhan Kami ialah Yang melimpah-limpah rahmatNya Yang dipohonkan pertolonganNya terhadap apa Yang kamu sifatkan itu". (QS Al-Anbiya’:112)

قُلْ رَبِّ إِمَّا تُرِيَنِّي مَا يُوعَدُونَ ( ٩٣ )رَبِّ فَلا تَجْعَلْنِي فِي الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ ( ٩٤
Katakanlah (Wahai Muhammad): "Wahai Tuhanku, kiranya Engkau hendak memperlihatkan kepadaKu (azab) Yang dijanjikan kepada mereka (di dunia), "Maka Wahai Tuhanku, janganlah Engkau biarkan daku tinggal Dalam kalangan kaum Yang zalim itu". (QS Al-Mu’minun:93-94)


Melalui 3 ayat di atas itulah yang merupakan doa-doa yang kami ketahui dan jumpakan berkenaan dengan doa orang yang beriman yang meminta di adili dengan hukum Allah. Dimana kita akan ketahui dengan jelas bahawa mereka bermohon kepada Allah untuk dihukum dengan kebenaran dan keadilan. Yang dimaksud dengan kebenaran dan keadilan di sini merupakan Syariah Islam yang merupakan satu-satunya kebenaran dan keadilan yang benar, kerana selain dari itu pasti sahaja salah dan tidak benar.

Dengan itu kami berpendapat dan menasihati perlaku maksiat tersebut, doa untuk mati bagi sebuah maksiat yang berpanjangan bukanlah sebuah jalan penyelesaian yang benar untuk mengatasi masalah tersebut.

Penyelesaian Yang Benar.

Merekonstruksikan semula takrif Islam, Islam adalah sebuah agama yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada baginda Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah (Akidah dan Ibadah), dengan dirinya (akhlak) dan dengan sesama manusia (muamalat dan uqubat). Dengan itu kita bisa fahami bahawa untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan, tidak bisa tidak melainkan dengan Islam itu sendiri.

Dengan kerana itu, perbuatan maksiat itu terletak dalam kaidah syara’:
Al –Ashlu af’al at taqqiyadu fil hukmi syariah.
Asal sesuatu perbuatan adalah terkait dengan hukum syara’

Maka melanggari hukum syara’ itulah yang dinamakan sebagai perlakuan maksiat.

Bagaimana Islam menyelesaikan Masalah tersebut.?

Untuk menyusun kepribadian Islam dalam diri seseorang, langkah pertama yang harus diintroduksikan dan ditanamkan pada diri seseorang adalah aqidah Islam. Sehingga seseorang itu benar-benar sedar bahwa dirinya adalah seorang muslim. Bukan seorang Kristian, bukan Katolik, bukan Budha, bukan Yahudi, bukan Hindu, dan bukan Athe¬is. Pendeknya dia seorang mus¬lim, bukan kafir. Ia bersaksi bah¬wa tiada Tuhan yang patut di-sembah (laa ma’buuda) kecuali Allah, lailahaillallah. Dia juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw. adalah rasul utusan Allah. Artinya tidak, ada satu bentuk cara penyembahan (ibadah) ke¬pada Allah, dalam erti sempit maupun umum, kecuali cara yang telah diterangkan dan di¬contohkan oleh Sayyidina Mu¬hammad rasulullah saw.

Iman kepada dua kalimat syahadat itu disadarinya sebagai iman kepada seluruh persoalan yang harus diimani menurut ajaran Islam, baik iman kepada sifat-sifat Allah dan asmaul hus¬naNya, iman kepada para malai¬kat-Nya, iman kepada kitab-ki¬tab-Nya, iman kepada para Ra¬sul utusan-Nya, iman kepada ha¬ri kiamat, dan iman kepada qadha’ dan qadar-Nya, yang baik mau¬pun yang buruk.

Iman kepada hari akhir dia fahami sebagai tempat pertang¬gungjawaban seluruh keimanan dengan segala konsekuensi dan konsistensi dalam kehidupan di dunia. Ia faham bahwa dunia adalah ladang menanam keba¬jikan untuk dituai buahnya di akhirat. Sebaliknya, orang yang lalai akan ceroboh dan berbuat yang justru membahayakan diri¬nya sendiri di akhirat nanti. Barang siapa menabur angin, akan menuai badai. Allah SWT memang menciptakan hidup dan mati ini untuk diuji siapa yang terbaik amalannya. Dia berfir¬man:

ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلاً۬ۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. Al Mulk [67]: 2).

Langkah kedua, adalah bertekad menjadikan aqidah Is¬lam sebagai landasan dalam berfikir menilai segala se¬suatu dan dijadikan landasan dalam bersikap dan ber¬perilaku. Dengan tekad itu, telah seorang memiliki cara berfikir Islami (aqliyah Islamiyah) dan si¬kap jiwa Islami (nafsiyah Isla¬mi).

Dengan langkah kedua ini seorang muslim telah selesai dalam pembentukan kepribadian Islam. Dia telah dikatakan telah memiliki kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyah) sekalipun baru tahap awal dalam berfikir secara Islami dan mengolah sikap jiwa secara Islami.

Seorang muslim sudah di¬katakan sudah memiliki cara ber¬fikir Islam walaupun belum bisa berbahasa Arab apalagi berijti¬had seperti Imam As Syafi’I rahi¬mahullah. Dia sudah dikatakan telah berfikir Islami walaupun baru tahu sholat lima waktu itu wajib, sholat berjama’ah di mas¬jid itu lebih utama 25-27 kali da¬ripada sholat di rumah, judi dan khamar serta undian itu adalah permainan syaithon yang harus dijauhi, merasuah maupun mene-rima rasuah itu hukumnya haram. Seorang yang berfikir Islami memang tidak disyaratkan mesti canggih dulu berfikirnya.

Seorang muslim dikatakan telah memiliki sikap jiwa Islami apabila telah bertekad untuk me¬ngubah sikap hidupnya secara total mengikuti Islam dan isti¬qomah. Ketika ada orang me¬minta nasihat kepada Rasulullah saw. yang dengan nasihat itu dia tidak bertanya lagi, beliau saw. menjawab:

“Katakanlah aku beriman kepada Allah, lalu bersikaplah istiqomah.” [HR. Muslim].

Asal orang sudah bertekad seperti itu, dia dikatakan telah memiliki sikap jiwa Islami (naf-siyah islamiyah) sekalipun belum banyak beribadah. Sekalipun dia baru melaksanakan sholat wajib dan sedikit sholat sunnah. Se¬kalipun dia baru belajar sholat tahajjud. Sekalipun dia baru be¬lajar membaca Al Fatihah dan Qulhu. Sikap jiwa dan istiqomah untuk selalu mengendalikan perilaku dengan ajaran Islamlah yang membuat seorang memiliki sikap jiwa Islami. Rasulullah saw. bersabda:

“Tiada beriman salah seorang di antara kamu sehingga memper¬siapkan hawa nafsunya mengi¬kuti ajaran Islam yang kubawa.” [HR. An-Nawawi].

Untuk mencapai kesempurnaan hidup, agar men¬jadi manusia yang lulus terbaik dalam ujian Allah SWT dalam kehidu¬pan di dunia, seorang muslim ti¬dak boleh hanya berhenti di te¬kad atau status telah memiliki ke¬pribadian Islam. Tapi dia harus memiliki tekad untuk menyem¬purnakan dirinya menjadi muk¬min yang muttaqin.

Oleh karena itu, langkah ketiga, seorang muslim itu mem¬bina cara berfikir Islaminya de-ngan meningkatkan pengetahu¬annya tentang ilmu-ilmu Islam, baik aqidah Islamiyah itu sendiri, Al Qur’an, As Sunnah, Tafsir ayat-ayat Al Qur’an, Fiqh, hadits, siroh, bahasa Arab dan lain-lain yang diperlukan untuk mening¬katkan kualitas cara berfikirnya yang senantiasa menghubung¬kan segala sesuatu yang difikir¬kannya dengan informasi Islam.

Seorang muslim perlu menambah keyakinannya dengan tambahan pengetahuan tentang aqidah Islam dari Al Qur’an mau¬pun As Sunnah. Dia akan mene¬mukan Allah SWT menyatakan bahwa agama Islamlah yang diridhai oleh Allah dan mencari agama selain Alloh adalah keru¬gian yang besar. Dalam Quran Surat Ali Imron 19 dan Quran surat Ali Imran 85.Dengan keyakinan ini dia akan menjaga keislamannya sampai akhir hayatnya sebagaimana tun¬tunan Allah dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebe¬nar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Isla.” (Qs. Ali-Imran [3]: 102).

Untuk bisa sebenar-benarnya taqwa dan beristiqomah sampai akhir hayat, maka sikap total dalam kehidupan secara Islami harus dicanangkan. Seba¬gaimana firman Allah dalm Qs. al-Baqarah [2]: 208. Dia sedar harus menerima dan memahami petunjuk Allah yang berkaitan dengan sikap dan perilakunya secara total, tidak pilih-pilih. Sebab pilih-pilih akan membuat fatal, tersesat dari jalan Allah, dan berujung kepada kehi¬naan dan kesengsaraan. Dari se¬mangatnya membolak-balik lem¬baran Al Qur’an seorang muslim akan menemukan firman-Nya:

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian da¬ripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pa¬da hari kiamat mereka dikem¬balikan kepada siksa yang sa¬ngat berat.” (Qs. al-Baqarah [2]: 85).

Sedangkan untuk meningkatkan kualiti nafsiyahnya, kita mestilah hidup dalam suasana keimanan. Bergaul dengan orang-orang yang shaleh, memilih teman yang baik, serta menjauhi orang-orang yang berbuat maksiat. Atau dengan cara menciptakan suasana keimanan, dengan jalan memperbanyak amalan-amalan nafilah (sunat). Seperti membaca Alqur’an, Tadabur Alam, Menghayati dan mengkaji Siroh Rosul dengan tujuan untuk mencari tauladan, khusuk dalam sholat. Membaca doa dan qiyamul lail untuk meningkatkan ruhiyahnya. Sehingga ketika hubungan kita dengan Allah dekat, InsyaAllah kita akan merasa mudah untuk menjalankan Islam dalam kehidupan sehari-hari secara kaffah, tidak ada rasa keberatan sedikitpun dan tidak ada rasa malas lagi. Ini akan menjadikan sikap kita ketika mendengar perintah Allah akan berkata “Kami dengar dan kami Taat”

Namun begitu, usaha ini akan sukar untuk dilaksanakan dengan sebenar-benar total sempurna hidup dalam naungan syariat Islam. Kerana kehidupan dengan syariat Islam secara kaffah hanya akan bisa di implementasikan dengan sebuah negara yang benar-benar Islami, Dan negara islami itulah AL-KHILAFAH ISLAMIYAH. Sebuah institusi yang melaksanakan syariat Islam secara keseluruhan dan menjaga juga mengembannya sehingga keseluruh penjuru dunia. Ini kerana kita sebagai seorang individu mungkin bisa sahaja melakukan kewajiban-kewajiban sebatas perbuatan individu, namun persoalannya apakah masyarakat kita pemuda-pemudi kita di luar sana benar-benar islami?, apakah kita keluar dari rumah maksiat tidak pernah berlaku? Tidakkah kita bisa melihat mereka yang tidak menutup aurat dengan bangga sambil mendabik dada berjalan dengan posing yang padanya sangat ayu namun bagi orang beriman jijik dan keji sama sekali.?

Jawapannya tentu sahaja ya, dan pasti sahaja akan kita jumpai setiap hari. Tidakkah kita juga akan dipertanggungjawabkan atas maksiat yang berlaku di hadapan mata tersebut.? namun tidak secara masyarakat keseluruhannya yang menjadi kewajiban, bagi kita semua yang benar-benar fahami jelas, bahawa pentingnya akan sebuah authoriti dalam perlaksanaan syariat Islam untuk membendung maksiat baik untuk diri mahupun alam dan kehidupan sejagat.

Akhir kalam. Ra’iyun mina ash shawab yahtimmul minal khatta’, rai’yun ghairina minal khatta’ yahtimmul shawab.

Wallahua’alam bi Ash-Shawab
*
Postingan Terkait Lainnya :


2 komentar:

Anonim mengatakan...

saya serius minta mati karena selama ini langkah apapun yang saya lakukan selalu saja salah.

Anonim mengatakan...

Situs ini situs PROVOKATIF dan cenderung TERORISME. Bukannya memberi pencerahan, malah ujung-ujung nya hendak berniiat mendirikan Negara Khilafah. Silakan tinggal di Arab Saudi. Jangan kalian RUSAK iman kalian dengan mengajak niat MAKAR pada Negara tertentu hanya karena negara tersebut bukan negara Khilafah. ISLAM kok mengajak pada MAKAR....???!!!!! Pengurus wesite ini BUKAN seorang MUSLIM...Justru KALIAN semua itu KAFIR yang sesungguhnya.... PERUSAK ISLAM...!!!!!

Posting Komentar

 

Hizbut Tahrir Indonesia

SALAFY INDONESIA

Followers